Selasa, 03 Juni 2014

Nomor Berapapun, Kerja Lebih Penting!

Oleh : Dadang Nurjaman

Pertarungan dua calon presiden dan wakil presiden semakin menarik setelah Komisi Pemilihan Umum mengundi nomor urut pasangan capres dan cawapres yang dilaksanakan pada 1 juni 2014, dalam undian tersebut Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut 1 sementara, Jokowi-Kalla mendapat nomor 2. Ada banyak hal yang bisa digali dari nomor-nomor tersebut, bahkan Prabowo sendiri mengatakan bahwa nomor 1 adalah tanda kemenangan, simbol yang baik dan lambang yang baik menurut Prabowo setelah mendapat nomor undian tersebut.

Berdasarkan pemaknaan dikalangan tim pun jauh lebih dalam memaknai nomor 1 ini, dimana salah seorang Tim Media Pemenangan menyebutkan bahwa nomor satu itu berarti memiliki karakter berani, patuh dengan peraturan dan ambisius, namun suka mencoba hal baru. Selain itu nomor satu juga dimaknai sebagai kepribadian mandiri menjadi salah satu makna yang dilambangkan angka satu. Pribadi yang mandiri ini menjadi salah satu fokus Prabowo-Hatta. Lain Prabowo-Hatta, Lain juga Jokowi-JK yang mendapatkan nomor urut 2. Dimana nomor ini  memang yang sudah diharapkan oleh kubu Jokowi-JK, menurut mereka nomor 2 adalah simbol keseimbangan hidup seperti ada kaki kanan dan kiri, tangan ada dua, kanan dan kiri dan ada suami dan istri. Bahkan, JK dalam memaknainya dengan, bahwa nomor urut 2 lebih mudah untuk menjadi simbol, seperti peace (damai) maupun victory (kemenangan), dan itu menurut JK umum dilakukan di seluruh dunia.

Terlepas dari makna-makna nomor urut yang mereka katakan, sebenarnya ada yang lebih penting dilakukan oleh Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla dalam meraih dukungan masyarakat yakni mendengarkan keluh kesah masyarakat dan lebih spesifik menjawab kebutuhan mereka di masa yang akan datang. Sejauh ini, baik visi dan misi masih menggunakan bahasa “langit” dimana bahasa itu hanya dimengerti oleh kelompok menengah ke atas, sementara masyarakat menengah kebawah yang jumlahnya lebih banyak dan hanya memiliki pendidikan rendah mereka tidak tahu apa-apa.

Sehingga mereka butuh penjelasan yang sejelas-jelasnya tentang visi dan misi yang sederhana dan bisa ditangkap oleh masyarakat dan masyarakat mengerti. Sampai hari ini setiap momentum politik selalu saja masyarakat ini dijadikan objek pencari kekuasaan, berdalih untuk rakyat. Namun, dari pesta demokrasi yang sudah dilakukan di Indonesia belum ada yang dihasilkan oleh pemimpin terpilih. Belum bisa membawa masyarakatnya kearah yang lebih baik, belum memberikan janji-janji politik yang mereka sampai waktu kampanye. Dan sekarang saatnya, para calon presiden dan wakil presiden membuktikan bahwa momentum pemilihan presiden tahun 2014 harus menjadi pembuktian, berkarya nyata dan mengedepankan perjuangan untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri dan kelompok/ partai.

Calon presiden harus berani mengatakan bahwa dirinya bukan pencari kekuasaan, ambisius kekuasaan dan gila jabatan melainkan menginginkan membawa Negara Indonesia ini menjadi negara maju yang masyarakatnya hidup layak, tidak kurang sesuatu apapun, damai dan merdeka. Apapun makna dari nomor urut itu hanya meraba-raba dan tidak menyentuh pada hal yang prinsip. Mari kita bersama-sama membuka mata dan hati kita untuk menentukan langkah kita sebagai penghuni negara tercinta Indonesia ini untuk memilih siapa yang terbaik dari kedua anak Negeri yang maju sebagai presiden di pemilihan presiden yang tinggal menunggu hari ini.


Semoga pilihan masyarakat Indonesia bisa membawa negara Indonesia menjadi negara yang bisa dibanggakan oleh masyarakatnya, dan masyarakatnya tidak lagi miskin dan tertinggal, semoga Negara Indonesia bisa bersaing di  pentas dunia dan semoga setiap harapan masyarakat Indonesia bisa terwujud.

Minggu, 23 Maret 2014

Surat Kalbu Untuk Mu

(Arena Nur)

Malam ini tidak pernah sama dengan malam sebelumnya, saat aku masih di hatimu.
Aku masih terbaring lemah dengan segala ikatan yang menjeratku. Memandang purnama di sebalik daun jendela. Aku menikmatinya seorang diri dalam malam pekat sepi tanpa siapapun di sampingku. Semua terlelap dalam mimpi-mimpi yang sengaja di ciptakan. Namun kini aku merasa, Tuhan lebih dekat denganku.
Ceriaku semakin memudar. Aku berkamuflase menjadi seorang yang terlahir kembali dengan balutan salju yang dinginnya tiada terkira. Hariku bertambah hening di atas sikap diamku dalam seribu bahasa. Aku memang tak pernah ciptakan tangis lagi, terkecuali saat aku bersimpuh di hadapan-Nya dalam doa panjang.

Malam ku perlambat kepergiannya.
"Mengapa?"
Ya, selalu bertanya mengapa pada hatiku. Tapi jawaban yang aku temukan adalah kenyamanan. Kenyamanan dimana aku tak harus memakai topeng ketegaran, dimana aku tak harus membendung setiap debit air mata yang ingin aku alirkan melalui kedua celah labium mata dan pipiku, dimana aku tak harus berpura-pura tertawa sedang tangis ku bendung sendiri, mungkin juga dimana aku tak ingin melihatmu bahagia sementara alasan bahagiamu sudah bukan aku-lagi-.

Rabu, 05 Februari 2014

Pelacur itu, Ibuku!


Oleh : Arena Nur 

Juara I Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013 


Cinta tertawan dalam bingkai lelah ibu. Ia terbaring tepat disampingku. Kerut dahi yang bercerita, merana, berteriak padaku “Nak, ibu lelah.!” itu yang selalu aku lihat dari pejam matanya.

Ini bukan malam hari, bukan waktunya untuk terlelap melepaskan lelah. Ini sudah pagi, bahkan embun nyaris pergi. Tapi bagi ibu, ini tak ubahnya dengan pukul sembilan malam yang sudah waktunya untuk tertidur pulas di perbaringan malas. Ya, dunia ibuku jungkir balik. Malam dijadikannya siang, begitu pun dengan siang yang ia ubah menjadi malam. Seolah ibu tak pernah bersua dengan mentari.

Kupu-kupu malam, begitu julukan yang tetangga dan teman-temanku sematkan untuk ibu. Terdengar lebih hina. Tapi, ya sudahlah, bagiku itu lebih menis dibandingkan dengan panggilan ‘pelacur’.

Aku bergegas pergi untuk bersiap-siap untuk pergi sekolah. Ku bentangkan kain yang semula membalut tubuhku yang mungil, ku selimuti tubuh ibu yang melipat menahan dinginnya pagi. Tergeletak secarik kertas di meja makan, tertulis untaian pesan dari ibu.



Ara, putri ibu yang cantik. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapanmu, nak. Maafkan ibu bila disaat kamu meyantapnya, nasi itu sudah tidak lagi hangat. Ibu juga buatkan telur matahari untukmu. Uang sakumu ada di tempat pinsilmu. Jangan malas belajar ya sayang, ibu menyayangimu.



Pesan itu yang selalu membuatku tersenyum, membalut luka ketika malam ibu tak mendekapku. Ia masih sempat untuk membuatkanku sarapan. Aku tahu, saat membuat nasi goreng ini pasti mata ibu setengah terpejam. Aku hanya mampu membayar sepiring nasi goreng ini dengan kecupan di dahi ibu.

“Ara sayang ibu.” Ucapku dengan halus.

Sabtu, 01 Februari 2014

Merenda Hari Esok

Penulis : Aji Sutiono

Juara II Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013


Suara bising para pejabat ibu kota telah memenuhi pangkal pendengaranku. Mereka datang ke tanah ulayatku dengan niat membangun peradaban baru, katanya. Maka pada hari itu, dari tokoh agama, kepala desa, sampai preman-preman kampung –sebagai perwakilan pemuda dusun– ikut andil di balai desa. Bersama orang-orang kota itu, mereka memperdebatkan pembebasan tanah. Menurut penjelasan mereka, bahwa rencananya di desa kami akan dibangun sebuah kawasan industri. Katanya lagi, agar kami dapat merasakan nikmatnya manfaat dari kemajuan industri. Selain itu, agar tingkat pengangguran semakin berkurang.

Hari itu pun seluruh perwakilan tokoh menyetujuinya. Tanpa memikirkan dampak jangka panjang, kepala desa bernegosiasi dengan para warga untuk menentukan harga tanah serendah-rendahnya. Sebagaimana telah diketahui, penduduk desa hanya akan menerima segala apa yang telah diutarakan Pak Lurah. Dan itu artinya, kami harus bersiap kehilangan tanah warisan milik nenek moyang kami. Bukan hanya itu, kami pun akan kehilangan pekerjaan sebagai petani. Terlebih pada nasib ayahku. Semua orang pun tahu, aku sendiri memahami, ayahku akan sulit dipisahkan dengan pekerjaannya sebagai petani tulen. Baginya, hidupnya, dan mungkin juga keyakinan akan masa depannya, hanya ada di atas sebidang tanah; bercocok tanam.

Bagi sebagian orang yang memiliki tanah sendiri, kemudian mendapat jatah bayaran dari hasil gusuran pabrik, akan tertawa dengan bahagia. Setidaknya mereka akan dengan mudah membangun los kontrakan bagi masa depan anak-anaknya.  Karena dipastikan, di desa kami tidak hanya akan dihuni oleh orang-orang pribumi saja, melainkan akan banyak berdatangan para pengunjung yang sengaja merantau dalam rangka mencari kerja. Sialnya, ayahku tidak memiliki sebidang tanah itu. Selama ini ayahku hanya bertani menggarap tanah orang lain. Ayahku mulai jatuh dengan pekerjaannya. Apa boleh buat, aku harus siap siaga membantu kehidupan keluarga dengan mencari kerja.